SeputarPati.Com-Wakil Bupati
Pati Saiful Arifin (Safin), menjadi narasumber dalam Web Seminar (Webinar)
Nasional dengan tema “Mengisi Kemerdekaan dari Pesisir Jawa Tengah” yang
digelar oleh Koalisi Maritim Jawa Tengah (Komjen). Berlangsung di Ruang Pati
Command Center Senin (17/8)
Dalam
paparannya, Safin menyampaikan bahwa pesisir Kabupaten Pati, membentang pantai
sepanjang 60 Km. Namun, dengan panjang pantai tersebut, bukanlah potensi
wisatanya yang menonjol melainkan besarnya lahan tambak yang ada.
“Namun tambak yang ada tidak hanya berpotensi
untuk budidaya bandeng, udang maupun ikan nila salin yang saat tengah kita
kembangkan. Melainkan, memiliki potensi untuk produksi garam. Meskipun
Kabupaten Pati bukan kota garam, namun potensi garamnya dapat melebihi daerah –
daerah lain,” ujar Wabup.
Dengan potensi yang sedemikian rupa,
lanjut Safin, menjadikan Kabupaten Pati daerah produsen garam yang cukup besar.
Hal ini didukung dengan jumlah produksi garam yang mencapai 360.000 ton per
tahun. “Dengan ini pula, kita mendapat apresiasi lantaran kita menduduki
peringkat kedua se-Indonesia,”ucapnya.
Safin menjelaskan, apabila membahas
tentang garam, dapat menjadi produk yang utama. Bahkan, lanjutnya, ada pepatah
yang menyebut, makan tanpa garam tidak ada rasanya sama sekali. Oleh karena
itu, secara langsung garam menjadi produk yang begitu dibutuhkan di masyarakat.
“Apabila berbicara tentang
produktivitas, kita percaya bahwa Kabupaten Pati mampu memproduksi garam dengan
cukup besar dan kualitasnya yang baik. Namun, timbul kesedihan bahwa dengan
potensi produktivitas yang begitu baik, kita selalu dihantam dengan adanya
garam impor,”paparnya.
Berpedoman pada kondisi garam di
dalam industri yang NaCl nya mencapai 98, batasan NaCl tersebut apabila di
industri bisa diturunkan menjadi 96 atau 97. Menurut Safin, hal ini agar petani
garam di Kabupaten Pati dapat memproduksi garam yang kadarnya mencapai 97. Ia
menilai apabila kadarnya 98 terlalu berat.
“Kita produktivitas sudah tinggi
apabila selalu dihantam dengan garam impor, ya kasihan juga para petani di
Pati. Padahal untuk memproduksi garam saja, mesti dengan cucuran keringat dan
panas yang begitu terik. Nah, kalau harganya tidak masuk, maka petani – petani
baru atau kalangan muda, ingin mengerjakannya pun susah,” katanya.
Safin pun mengajak kepada semua agar
dapat saling memikirkan dan mencari solusi terkait hal tersebut. Sebab, apabila
harga garam di pasar terus – terusan tidak menarik, lama – kelamaan petani
garam enggan untuk masuk di industri garam.
“Dimana letak kemerdekaan kita
apabila produk garam saja masih impor? Ini yang perlu kita camkan dan kita
gaungkan di pemerintah pusat, masak kebutuhan garam saja harus import?”,
imbuhnya.
Dengan produktivitas yang baik dan
harga berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per kilogram, menurut Safin hal
ini terlalu memberatkan. Baginya, bagaimana para petani – petani garam baru
dapat berkontribusi apabila harganya saja tidak menarik.
“Mewakili teman – teman petani
garam, kita berharap agar garam lokal ini dapat masuk di industri – industri
makanan. Kita harus mencari titik tengah yang juga menguntungkan bagi para
petani garam,” tegasnya.
Pihaknya juga berencana menyampaikan
kepada Mendagri bahwa garam sebagai kebutuhan yang begitu penting agar dapat
muncul Harga Eceran Tertinggi (HET)-nya.”Sebab dengan HET ini, dapat
menyelamatkan petani. Yaitu dari sisi produktivitas maupun harganya yang memang
patut untuk didapatkan,”pungkasnya. (Dik/Hms)
Tags
Nasional